Potensi Gempa dan Tsunami di Padang

Pada kunjungan bersama Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara-Wanadri di Pulau Sibarubaru, Pagai Selatan, awal Juni 2008, Kompas melihat fenomena alam menakjubkan. Garis pantai maju ke arah laut hingga sekitar 500 meter dengan hamparan terumbu karang yang telah mati.

Daratan terangkat sekitar 1 meter dari sebelumnya. Di sela-sela karang mati itu mulai tumbuh tanaman bakau.

Menurut Komandan Operasi Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara Haris Mulyadi, pemandangan serupa terlihat di Pulau Mega, Bengkulu. Ketinggian karang yang terangkat mencapai 1,5 meter, memajukan garis pantai ratusan meter.

Di dusun Lakau dan Limosua, Pagai Selatan, sekitar 40 menit perjalanan laut dari Pulau Sibarubaru, penduduk kesulitan merapatkan sampan akibat terangkatnya terumbu karang. Kenaikan daratan juga menyebabkan Sungai Lakau mendangkal.

Akibatnya, sungai tak lagi bisa dilewati perahu bermesin tempel seperti sebelumnya. Warga juga tak bisa lagi menjala ikan yang dulunya berkembang biak di sana. Menurut warga, kedalaman sangai itu dulunya mencapai 2 meter. Kini kurang dari 1 meter.

Bagi pakar gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja, fenomena itu biasa dijelaskan secara geologi. Penelitiannya bersama peneliti dari California Institute of Technology menemukan lebih dari satu siklus gempa bumi di kepulauan itu, masing-masing tahun 1300, 1600-an, 1797, dan 1833.

Berdasarkan kajian siklus gempa di pulau-pulau barat Pulau Sumatera, terangkatnya daratan perlahan-lahan diikuti penurunan. Kisaran penurunannya antara 1 cm hingga 1,5 cm per tahun.

Mengacu siklus gempa yang telah terdeteksi, penurunan gempa akan mencapai titik jenuh dalam tempo 200 tahunan, dengan kisaran penurunan daratan (pulau) antara 2 meter hingga 3 meter.

Dari hasil Ekspedisi kelautan Pre-Tsunami Investigation of Seismic Gap atau PreTI-Gap di perairan Kepulauan Mentawai, Sumatera, yang berakhir Kamis (6/3/08), menemukan adanya potensi lain yang bisa memicu timbulnya tsunami di sekitar pantai Padang.

Sumber dari munculnya tsunami itu adalah longsornya lereng bawah laut di bagian tenggara gugusan pulau di wilayah pesisir Padang.

Ekspedisi dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Institut de Physique du Globe (IPG) de Paris sejak 15 Februari 2008 untuk mempelajari kesenjangan seismik antara Pulau Siberut dan Pagai. Riset ini bagian dari proyek Sumatera-Andaman Great Earthquake (SAGE), dengan lebih dari 50 peneliti dari 16 institusi internasional, termasuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Pusat Penelitian Geologi Kelautan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Proyek ini didanai Kementerian Luar Negeri Perancis melalui program Delegasi Antarpemerintah setelah Tsunami Aceh 2004.

Data itu menunjukkan, ada serangkaian sesar anjak aktif (back thrust) di timur laut Kepulauan Mentawai yang dapat menimbulkan tsunami akibat aktivitas gempa di zona subduksi lempeng Indo-Australia terhadap Eurasia.

Lereng di sesar anjak itu diketahui runtuh selama gempa tektonik tahun 2004, 2005, dan 2007. ”Kami menemukan pula bebas tanah longsor bawah laut yang sangat besar terkait dengan gempa-gempa itu,” ujar Profesor Satish Singh dari IPG Paris. Ada kemungkinan longsoran ini penyebab tsunami tahun 1797 di Kota Padang setinggi 5 meter.

”Bagian terpenting di tenggara Kepulauan Mentawai yang diteliti menunjukkan, daerah rawan tanah longsor bawah laut yang mungkin terpicu bila terjadi gempa bumi. Sangat penting dilakukan penelitian lebih lanjut di daerah ini untuk keperluan mitigasi tsunami akibat longsoran bawah laut,” ujar Singh yang memimpin ekspedisi tersebut.

Haryadi Permana, peneliti Puslit Geoteknologi LIPI, mengatakan, pengetahuan soal tsunami akibat longsoran bawah laut menjadi dasar mendesain ulang sistem peringatan dini tsunami, jalur evakuasi, dan mitigasinya. Ancaman tsunami itu ditemukan di bagian timur laut Kepulauan Mentawai sekitar 700 kilometer.

Dua potensi tsunami

Menurut Danny Hilman, pakar tsunami dari Puslit Geoteknologi LIPI, potensi sesar busur belakang ditemukan di Pulau Simeulue dan Pulau Nias. Pengaruh back thrust menimbulkan fenomena naiknya daratan bagian timur kedua pulau itu. ”Ini merupakan paradoks karena pasca- gempa 2004 yang naik adalah bagian barat pulau,” kata Danny.

Dia mengingatkan, perlu ditingkatkan kewaspadaan pada dua potensi tsunami. Tsunami akibat gempa di zona pertemuan dua lempeng dan tsunami akibat longsoran bawah laut.

Gempa berskala kecil hingga sedang hingga Kamis (6/3) masih terus terjadi, sebagian besar tercatat di sekitar Pulau Sipora. Melihat rekaman pusat-pusat gempa, lokasinya berada di bagian tepi segmen kegempaan yang berada di bawah Pulau Siberut, yang belum pernah melepaskan energi. Segmen Kegempaan Pagai telah melepas sekitar 40 persen energinya pada gempa tahun lalu. ”Indikasi ini hendaknya dijadikan dasar meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan Pemda Padang,” ujar Danny yang meneliti kawasan barat Sumatera lebih dari satu dasawarsa.

Tsunami akibat longsoran bawah laut itu, katanya, untuk sampai di pantai timur kepulauan hanya butuh beberapa menit. Perambatan gelombang perlu waktu sekitar 15 menit untuk sampai di pantai Padang.

Tumbukan lempeng

Fenomena penurunan daratan di sisi barat Sumatera disebabkan tumbukan lempeng–lempeng samudra (di dasar Samudra Hindia) menekan lempeng benua di bawah daratan Sumatera. Seiring waktu, tekanan lempeng samudra itu akan melampaui kekuatan lempeng benua untuk menahannya.

Begitu tak tertahankan, pecah dan bergeserlah lempeng benua diikuti getaran yang disebut gempa bumi. Di lautan lentingan lempeng benua akan mengguncang lautan yang diikuti tsunami dan meninggalkan fenomena alam berupa terumbu karang menjadi daratan.
Informasi yang diperoleh Danny, lentingan lempeng benua pernah menyebabkan terangkatnya daratan (pulau) Pagai setinggi 3 meter. Fenomena naiknya terumbu karang hingga 1,5 meter, seperti yang terjadi saat ini, belum merupakan puncak.

Menurut Danny, tidak setiap terjadinya lentingan menunggu titik jenuh tumbukan. Bagian lempeng benua dapat terlepas lebih awal (sebelum siklus 200 tahunan).

Hanya, fenomena itu berdampak kecil, di antaranya disertai magnitudo gempa yang kecil dan rendahnya tsunami.

Fenomena lepasan “kecil” itulah yang disinyalir muncul sebagai gempa Nias, Maret 2005, dan gempa Bengkulu, September 2007.

Menurut catatan sejarah, setidaknya pernah terjadi dua kali gempa besar di gugusan Kepulauan Mentawai, yaitu tahun 1797 berkekuatan 8,3 skala Richter (SR) di Pulau Sipora dan gempa berskala 8,5 SR yang menghantam Pulau Pagai pada tahun 1833 silam.

Potensi terbaru

Saat ini dari lima pulau besar di gugusan Kepulauan Mentawai hanya daratan Pulau Sipora dan Siberut yang belum mengalami pengangkatan daratan.

Mengacu siklus 200 tahunan, hal itu menjelaskan bahwa segmen lempeng benua di bawah dua pulau itu masih sanggup menahan tumbukan lempeng benua. Berbeda dengan kejadian di kawasan Pulau Mega serta Pagai Selatan atau di kawasan Simeulue dan Nias.

Dengan kata lain, potensi lentingan di kawasan Sipora dan Siberut sudah dalam taraf “hamil tua”. Bila itu terjadi, bukan tidak mungkin menggerakkan segmen lainnya.

Menurut Danny, penjelasan potensi itu disebabkan episentrum gempa bukan berupa titik, tetapi sebuah bidang.

Episentrum gempa sebagai sebuah bidang itulah yang menjelaskan mengapa daratan di Simeulue (akibat gempa Desember 2004) terangkat, disusul peristiwa serupa di Nias tiga bulan kemudian (gempa Maret 2005). Artinya, pergeseran segmen lempeng tertentu akan diikuti segmen lain untuk mencapai titik keseimbangan.

“Melihat fenomena itu, terangkatnya daratan di Pulau Mega hingga Pagai Selatan masih akan diikuti kejadian serupa di Pagai Utara, Sipora, atau Siberut. Hanya, tak tahu kapan waktunya,” ujarnya. Mengacu peristiwa Nias, hanya membutuhkan waktu tiga bulan menyusul Simeulue.

Memicu tsunami

Yang patut dikhawatirkan adalah bila pusat gempa bumi berada di bawah Selat Mentawai. Hal itu akan memicu tsunami besar yang mengancam Pantai Padang yang berkontur datar dan tidak terlindungi.

Kekhawatiran dengan kadar berbeda bila pusat gempa berada di sisi barat kepulauan Mentawai, di mana tsunami ke arah Padang telah terlindungi pulau-pulau. Akan tetapi, mengancam penduduk di pesisir barat Mentawai.

Kini siklus gempa sudah terdeteksi melalui “garis tahun”terumbu karang yang mati dan informasi pergerakan muka bumi melalui alat global positioning system. Akan tetapi, prediksi waktu yang tepat datangnya gempa tetap belum dapat dicapai.

Sekalipun belum jelas kapan datangnya gempa, kesiapsiagaan perlu dibangun demi keselamatan warga pesisir. Tujuannya bukan hanya bagi warga di gugusan kepulauan di barat Pulau Sumatera, tetapi juga bagi warga yang bermukim di sepanjang pesisir pantai barat Sumatera, seperti Padang, Sibolga, hingga Bengkulu.

Posisi Pulau Sumatera, yang menjadi semacam “engsel” naik-turunnya daratan (pulau) di gugusan Mentawai, bukan berarti membebaskan daratan Sumatera dari dampak gempa bumi berpotensi tsunami. Apalagi, bila pusat gempa berada di bawah Selat Mentawai.

Berdasarkan teori siklus kegempaan, kawasan Nias Selatan dan Kepulauan Mentawai masih berpeluang dilanda gempa tektonik berkekuatan 7,7-8,5 SR.

Demikian disampaikan Koordinator Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatera Utara Ir Jonatan I Tarigan kepada Analisa di Medan.

“Gempa bumi terjadi di Nias Selatan tahun 1935 berkekuatan 7,7SR dan Mentawai tahun 1833 dengan kekuatan 8,5 SR. Maka berdasarkan teori perulangan gempa dengan rentang perualangan 70-200 tahun, kemungkinan terjadinya gempa bumi di Nias Selatan dan Mentawai masih sangat besar,” katanya.

Dijelaskan, terjadinya gempa bumi berkekuatan 9,2 SR yang mengguncang daerah NAD telah menimbulkan tsunami dan peremukan (ruptrure) sepanjang 1.300 kilometer di jalur patahan besar (megatrust) Samudra Indonesia-Australia.

Karena peremukan tersebut, lempeng bumi di jalur patahan tersebut akan terus mengalami pergeseran atau relaksasi untuk kembali menuju kondisi stabil.

Akibatnya, berbagai gempa terjadi di jalur itu, seperti gempa di Simelulue dan Nias tahun 2002, 2004 dan 2008 dengan kekuatan 7,2-7,4 SR.

“Berdasarkan jalur patahan yang dilaluinya, maka kemungkinan terjadinya gempa bumi di daerah Nias Selatan dan Kepulauan Mentawai masih sangat besar,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan, bahwa gempa bumi yang terus menerus mengguncang kawasan Bengkulu dan sekitar Sumatera Barat bukanlah proses pelepasan energi di daerah jalur patahan besar Samudra Indonesia-Australia. Sebab pusat gempa berada di jalur patahan Sumatera.

Gempa Bengkulu menurutnya terjadi karena segmen patahan di daerah itu berkarakteristik patahan pendek. Sehingga rentang waktu perulangan gempa huga sangat pendek yaitu berkisar enam tahunan.

“Ini hampir sama dengan karakter patahan Parkfield di California Amerika Serikat dimana siklus kegempaan terjadi antara 20-22 tahun dengan kekuatan 6 SR,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan, peluang gempa juga masih terjadi di kawasan patahan Renun, Toru dan Angkola. Sebab sesuai dengan siklus kegempaan maka gempa terjadi tahun 1936 di patahan Renun dengan kekuatan 7,2 SR, Toru tahun 1984 dengan kekuatan 6,5 SR.

Menurutnya, bencana gempa bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sebagai besar berada di jalur patahan.

Maka upaya mitigasi merupakan salah satu upaya yang paling memungkinkan dilakukan Pemerintah Kabupaten dan Kota untuk meminimalisir dampak bencana terutama korban jiwa dan harta benda.

“Sudah saatnya pemerintah menyusun peta bahaya gempa dan peta risiko bencana gempa bumi guna mengurangi dampak bencana yang timbul akibat gempa bumi,” sebutnya. (sah) (Analisa, 03/03/08)

Deputy Chairman Of Earth Sciences-LIPI J Sopaheluwakan mengemukakan, komunitas pakar gempa dan tsunami internasional menyatakan, Kota Padang merupakan daerah yang paling rawan terhadap potensi terjadinya tsunami di dunia. Pengulangan tsunami sekitar 200 tahun ke depan sejak terakhir terjadi tahun 1833.

“Analisa ini bukan isu, isapan jempol atau akal-akalan. Karena, yang memberikan penjelasan itu adalah para ahli dan tidak mungkin mereka bohong. Untuk itu perlu disikapi secara arif dan tidak perlu panik,” kata Sopaheluwakan di sela Pertemuan bertajuk “Internasional Meeting on Sumatran Earthquake Challenge” di Padang, Kamis (25/8).

Pertemuan yang berlangsung 24 sampai 28 Agustus itu dilaksanakan atas kerja sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), California Institute of Technology (Caltech) dan Japan Society for Promotion of Science (JSPS).

Dalam pertemuan itu 60 pakar gempa bumi dan tsunami dari Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Prancis, Taiwan dan Indonesia, khususnya yang tertarik dengan masalah gempa dan tsunami di Sumatera, bertemu untuk mulai memikirkan permasalahan gempa dan tsunami bersama-sama dan langkah-langkah antisipasi di masa datang .

Mereka terdiri atas 35 pakar asing dan 25 pakar dalam negeri. Antara lain memiliki disiplin ilmu paleo-seismik, paleo-tsunami, seismologi, tektonik geodesi, engineering seismologi, earthquake engineering, tsunami early warning system (TWA) modern, dan pakar pendidikan masyarakat untuk masalah gempa dan tsunami.

Menurut Sopaheluwakan, potensi tersebut muncul karena didukung oleh populasi penduduknya yang paling padat dan dengan kondisi sosial ekonomi setempat.

Terkait atas analisa tersebut, menurut Sopaheluwakan, Padang harus mencermati sikap pemerintah Sizuoka (bagian selatan Tokyo) yang siap menunggu gempa dan tsunami dengan berbagai persiapan. Kondisi wilayah Sizuoko sama dengan Padang. Pemerintah di kota itu telah menyiapkan pusat komunikasi, logistik makanan yang disimpan sepuluh tahun serta penjernih air.

“Dengan memperkirakan ketinggian gelombang tsunami setinggi 9 meter, mereka juga membuat gunung-gunung buatan setinggi 11 meter dan memiliki rute evakuasi yang dilengkapi dengan tanda-tanda penyelamatan, serta membangun bendungan,” katanya.

Jika tsunami datang, kata Sopaheluwakan, hantaman gelombangnya akan dapat dihambat oleh penahan gelombang dilengkapi dengan “green belt”. Di situ, pemerintah membangun sebuah kota pengungsi di belakang pengunungan.

Lebih jauh ia menjelaskan potensi bencana gempa dan tsunami di Padang juga akan merambat ke kabupaten dan kota sekitarnya termasuk Pariaman, terus ke Bengkulu, Anyer, Lampung, dan Pelabuhan Ratu.

“Kita jangan panik, tapi lebih baik salurkan energi was-was itu menjadi persiapan dan setiap saat kita harus siap. Kondisi riilnya Padang memang akan ditimpa tsunami, di mana waktu perulangannya setiap 200 tahun sekali,” katanya.

Karenanya Pemko Padang sejak dini harus mulai melakukan berbagai langkah antisipasi antara lain membuat peta evakuasi. Kemudian, tata ruang dibenahi lagi, jalur-jalur pantai diperlebar, dan tetapkan bangunan tinggi yang layak menjadi tempat evakuasi vertikal.

“Bangun menara observasi di kawasan-kawasan yang paling rawan,” katanya seraya menambahkan, menara tersebut sekaligus bisa berfungsi sebagai objek pariwisata.

Dengan turut melibatkan seluruh masyarakat, kata Sopaheluwakan, LSM juga perlu dilibatkan untuk memasang poster-poster yang memuat sosialisasi dan pelatihan-pelatihan cara-cara mengatasi bencana. (dari berbagai sumber)

~ oleh iwanrakelta pada Sabtu, September 5, 2009.

7 Tanggapan to “Potensi Gempa dan Tsunami di Padang”

  1. oke bro thanks infonya

  2. kenapa yach gue ntu loping bgt ma derby………. gue gax tao kpn gue bzz ktemu ma dya……….hem…:(..

  3. gw setuju bgt…
    tolong pada para-para petinggi negara…
    peringatkan pemko padang agar bisa mengikuti jejak jepang untuk mngatasi tsunami…
    minimal bisa mnahan tsunami dan mnghilangkan kecemasan warga padang…
    jgn cuma rencana…. Tp, mlai lah bergerak……
    bagi yg mampu, bsa sumbangkan uang_na…
    bagi yg kurang mampu, qmi bersedia unk menyumbangkan tenaga kami…

    saya pemuda ranah minang

  4. Allah Hu`alam

  5. Allahu Akbar…

  6. tarimo kasih informasi nyo

  7. ngikut….On

Tinggalkan Balasan ke Mas Havid Batalkan balasan